Keberadaan seorang pemimpin wajib ada dalam setiap organisasi atau institusi. Dialah yang menjadi pemikir, penggerak, pengawas, dan pengevaluasi yang utama. Saya catatan ini sering mendapat amanah itu seperti yang tertulis di bagian akhir catatan. Amanah tersebut diperoleh melalui hasil musyawarah, bukan ambisi pribadi. Tulisan ini menceritakan sedikit pengalaman yang telah dilewati selama menjalani amanah-amanah itu. Dinamika dan realita perjalanan dalam tulisan ini akan menjadi sebuah pelajaran hidup bahwa pada dasarnya menjadi pemimpin tidaklah mudah. Saya merasa heran dengan para calon pemimpin yang melakukan cara apapun, termasuk cara haram dan tidak etis, untuk mendapatkan kursi kepemimpinan. Apakah mereka tidak memikirkan dinamika dan realita yang akan terjadi ke depannya? Berikut dinamika dan realita dalam kepemimpinan yang pernah saya alami. Semoga menginspirasi dan memotivasi.

1. Rekan yang Tidak Kooperatif
Suatu pekerjaan bisa lebih mudah dan cepat selesai bila dikerjakan bersama-sama. Namun, hampir dapat dipastikan terdapat orang-orang yang tidak kooperatif dalam suatu organisasi atau kelompok. Ketika diberi arahan dan tugas, mereka menunda arahan dan tugas itu, bahkan sengaja tidak mengerjakannya. Akhirnya, tugas mereka terpaksa dikerjakan orang lain dan organisasi atau kelompok mengalami perlambatan kemajuan. Tidak jarang pula saya mengerjakan tugas yang mestinya menjadi tanggung jawab rekan-rekannya.

2. Rekan yang Mengacau
Inilah sifat dari rekan yang sangat menyebalkan dan menyusahkan sekali. Masalah yang timbul dari rekan yang tidak kooperatif tidak sebesar masalah ini. Mereka, rekan yang mengacau, terkadang merusak bagian tertentu dari suatu acara. Ada juga yang membanding-bandingkan periode acara/organisasi tahun ini dengan tahun lalu. Terkadang ada pula seorang rekan yang memengaruhi rekan-rekan lain dan ‘petinggi’ untuk bersikap kontra terhadap saya. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem, aturan, kedekatan dengan para rekan, dan kekuatan mental untuk mengatasi dua karakter buruk dari para rekan tersebut.

3. Penyikapan Terhadap Kesalahan Pemimpin
Tidak dipungkiri bahwa manusia memang tempatnya salah dan dosa. Karena pemimpin juga manusia, tentu dia pernah melakukan suatu kesalahan. Meskipun begitu, sebisa mungkin kesalahan tersebut dihindari untuk kebaikan organisasi atau institusi. Beragam respons pun bermunculan dari para rekan hingga petinggi ketika saya salah dalam hal kepemimpinan. Mulai dari yang cuek, menasihati secara halus, menyindir, mengingatkan dengan ekspresi yang dingin, hingga marah habis-habisan yang dilakukan oleh seseorang atau banyak orang. Itulah risiko yang harus dihadapi. Karena pernah merasakan sakitnya disalah-salahkan serta dimarahi, saya lebih memilih untuk mengingatkan daripada menyalah-nyalahkan pemimpin yang salah. Hal itu dilakukan ketika saya di bawah pimpinan seseorang dalam suatu kepanitiaan atau organisasi.

4. Kehadiran Motivator
Dinamika yang terjadi dalam kepemimpinan memanglah berat. Lelah fisik, pikiran, dan hati tentu sering saya alami. Akan tetapi, lelah tersebut bisa sirna dengan hadirnya para motivator. Mereka bisa dikatakan sebagai orang-orang di balik layar perjuangan. Terkadang mereka juga mengiringi langkah saya untuk menjalankan amanah. Semangat yang senantiasa diberikan membuat saya mampu terus berjuang, meskipun lelah menghampiri. Mereka juga melatih saya untuk semakin berkembang dalam hal berkomunikasi, membaca situasi, mengoptimalkan potensi, dan meneguhkan hati. Saya sangat berterima kasih kepada mereka.

5. Sulitnya Fokus pada Dua Hal Sekaligus
Idealnya memang studi dan organisasi berjalan beriringan, tidak ada yang lemah dalam satu sisi. Namun, memfokuskan diri pada dua hal bukanlah sesuatu yang mudah. Ketika sedang belajar di sekolah atau kampus, pikiran kadang-kadang atau sering mengarah ke organisasi atau acara. Begitu juga sebaliknya. Saya pernah lupa mengerjakan PR karena agenda organisasi sangatlah padat. Akhirnya, guru pun marah. Saya juga pernah sesekali tidak masuk kuliah karena ada agenda organisasi. Sejak kejadian itu hingga saya selalu membuat skala prioritas dan perencanaan supaya ada keseimbangan antara organisasi dan studi.

6. Sungkan
Terkadang saya harus memberi arahan dan tugas kepada rekan yang lebih tua. Di situlah terjadi suatu dilema. Di satu sisi, arahan dan tugas itu harus diberikan karena memang sudah menjadi tanggung jawabnya. Di sisi lain, memerintah orang yang lebih tua merupakan hal yang dianggap kurang baik menurut budaya Jawa. Ujung-ujungnya saya juga yang merasa kesusahan karena arahan dan tugas mereka tidak tersampaikan secara baik. Sebetulnya tidak masalah jika arahan dan tugas itu disampaikan selama dengan cara yang etis.

7. Akses ke Orang Penting
Ketua atau koordinator tentu sering berkomunikasi dengan para petinggi. Kegiatan yang dilakukan mulai dari sekadar meminta tanda tangan, berkonsultasi terkait organisasi atau acara, dan mengobrol ringan. Tujuan dari mengobrol ringan tentu adalah untuk menjalin kedekatan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di situlah letak seni politiknya. Pemimpin yang memiliki akses ke para petinggi atau orang-orang penting akan memiliki dua keuntungan, yaitu keuntungan dari segi organisasi maupun pribadi. Tentu ada sisi etikanya sejauh mana pemanfaatan keuntungan tersebut dilakukan.

8. Subjektivitas Hati Pemimpin dan Rekan
Hati (perasaan) terkadang memang merepotkan. Di satu sisi, hati mampu memunculkan sisi positif berupa semangat dan kesadaran diri. Di sisi lain, hati mampu membuat orang bersikap subjektif. Misalnya, peran seorang pemimpin bisa menjadi kurang optimal karena terpengaruh dengan rekan yang sangat dekat dengannya. Saya pernah mengalaminya. Beruntung sekali ada yang mengingatkan.

Karena rekan juga manusia, mereka juga memiliki subjektivitas hati. Contohnya adalah rekan yang malas ketika harus mengerjakan tanggung jawabnya. Bila diingatkan secara baik, mereka menolak. Ketika diingatkan secara tegas (bukan keras), mereka menganggap pemimpinnya otoriter. Begitulah dinamika tentang subjektivitas hati.

9. Kontribusi Lebih
Dakwah terbaik adalah dengan mencontohkan. Bila kita ingin mendakwahkan pentingnya bekerja keras dan cerdas, tentu lebih efektif bila kita mencontohkannya ke sasaran dakwah, tidak sekadar berbicara saja. Hal itulah yang dilakukan saya untuk menggerakkan rekan-rekan. Selain memberi arahan dan tugas, saya juga berkontribusi lebih di berbagai sisi. Harapannya, rekan-rekan tersebut tergerak hatinya supaya mau dan segera melaksanakan tugasnya. Namun, pada kenyataannya masih ada rekan-rekan tertentu yang tetap tidak peka dan tidak kooperatif. Akhirnya, pembuatan aturan yang baik dan pendekatan ke para rekan menjadi solusi utama.

10. Rekan yang Sangat Loyal
Di dalam suatu kelompok, karakter tiap-tiap individu sudah pasti berbeda. Ada rekan yang berkarakter ‘ekstrem atas’ dan ada pula yang ‘ekstrem bawah’. Karakter yang ekstrem bawah sudah terdeskripsikan di nomor satu dan dua tulisan ini. Rekan yang termasuk golongan ekstrem atas adalah orang-orang yang senantiasa bekerja keras dan cerdas untuk kemajuan kelompok. Saya selalu menemui orang-orang seperti ini dalam suatu kelompok. Karena perannya yang begitu penting, maka orang-orang seperti ini harus dijaga konsistensinya dalam kelompok.

11. Pelajaran Hidup
Saya masih belum merasa menjadi pemimpin yang baik ketika masih bersekolah maupun sudah berkuliah. Mengapa? Karena masih banyak teman-teman yang jauh lebih baik. Masih banyak hal yang harus dipelajari. Namun, saya sangat bersyukur karena rekan-rekan organisasi, kelompok, atau acara pernah memercayakan berbagai amanah kepemimpinan. Pelajaran hidup yang diperoleh dari hal itu sangat beragam. Contohnya adalah meningkatnya kemampuan diri di bidang pemikiran, komunikasi, perencanaan, pembacaan situasi, dan masih banyak lagi. Pelajaran hidup itu sangat bermanfaat dalam kehidupan utuk diri dan orang lain. Alhamdulillah pada tahun 2015 saya pernah dipercaya untuk menyampaikan materi bertema kepemimpinan saat acara Pelatihan Dasar Organisasi Mahasiswa. Alhamdulillah juga masa-masa sulit dalam berbagai amanah telah terlewati.

*Pemimpin harus terbuka, artinya harus membuka diri terhadap berbagai dinamika yang terjadi di tengah-tengah komunitasnya. Selain itu, ia juga harus terbuka terhadap berbagai informasi, perbedaan pendapat, dan fakta-fakta yang tumbuh dan berkembang di dalam komunitasnya. (Drs. E.B. Surbakti, MA., kutipan buka Manajemen dan Kepemimpinan Hati Nurani halaman 109)

Catatan Penulis
Saya sangat menyadari bahwa menjadi pemimpin tidaklah mudah. Ada banyak hal yang harus dipikirkan, dilakukan, dan dihadapi. Akan tetapi, segala dinamika itu bisa mudah terlewati bila ada dorongan yang kuat bahwa “Aku pasti bisa.” Dorongan tersebut bisa berasal dari dalam atau luar diri.

Mereka yang sedang dipimpin bukanlah anak buah, bukan pula pesuruh. Mereka adalah teman, rekan, bahkan saudara seperjuangan. Oleh karena itu, ingatkan mereka bila salah, simaklah saran dan kritik darinya, arahkan mereka secara baik untuk kemajuan bersama

Ketika kinerja pemimpin tidak optimal, mungkin itu merupakan suatu dosa baginya. Tentu yang sangat mengetahui hal tersebut adalah Tuhan. Dengan demikian, pengoptimalan peran dalam kepemimpinan bersifat mutlak untuk dilakukan. Pemimpin yang baik tidak melindungi kesalahan-kesalahannya pada kaidah “Lebih baik ada pemimpin yang buruk daripada tidak ada pemimpin sama sekali.” Jadilah hebat dan hebatkanlah rekan-rekan seperjuangan!